Rajawalipos.space Medan — Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Universitas Negeri Medan sukses menggelar diskusi publik bertajuk “Gerakan Sosial di Persimpangan Demokrasi: Bentuk, Strategi, dan Tantangan Perlawanan Rakyat” pada Jumat, 5 September 2025, pukul 19.00 WIB secara daring melalui Zoom.
Acara ini menghadirkan antusiasme tinggi dari ratusan peserta yang terdiri atas mahasiswa, akademisi, jurnalis, hingga aktivis masyarakat sipil.
Forum berlangsung lebih dari dua jam dan dipenuhi paparan analitis, refleksi pengalaman, serta dialog kritis tentang arah gerakan sosial di Indonesia pasca-Reformasi.
Dalam pemaparannya, Dr. Bakhrul Khair Amal, M.Si menegaskan bahwa bentuk gerakan sosial di Indonesia terus mengalami transformasi seiring perubahan konteks sosial-politik. Menurutnya, jika di era Orde Baru hingga Reformasi gerakan sosial sangat bergantung pada mobilisasi massa secara langsung, maka kini ruang digital telah menjadi medan baru yang menentukan arah perlawanan. “Gerakan sosial hari ini cepat sekali viral, tetapi persoalannya tidak semua viralitas berujung pada konsolidasi. Kita menghadapi risiko gerakan yang cair dan mudah menguap karena basisnya lemah,” tegasnya.
Sementara itu, Sry Lestari Samosir, M.Sos menyoroti dimensi empiris dari dinamika komunitas yang kerap berhadapan langsung dengan korporasi maupun kebijakan negara. Ia menekankan pentingnya membangun gerakan yang berakar dari keresahan nyata masyarakat.
“Media sosial itu penting, tapi kalau hanya berhenti pada tagar, itu tidak cukup. Gerakan yang berhasil selalu berangkat dari basis organic dari petani, buruh, mahasiswa, komunitas adat yang konsisten mengorganisasi diri. Tanpa itu, represi negara dan fragmentasi internal akan dengan mudah mematahkan semangat perlawanan,” ungkapnya.
Diskusi kemudian berkembang pada persoalan tantangan besar gerakan sosial kontemporer. Para pembicara dan peserta sepakat bahwa represi negara masih menjadi batu sandungan utama. Aktivis sering dikriminalisasi dengan pasal karet, aksi massa dibubarkan, bahkan ruang kebebasan sipil terus menyempit.
Selain itu, kooptasi elite politik terhadap tokoh-tokoh gerakan juga dinilai memperlemah konsolidasi karena banyak pemimpin gerakan akhirnya terserap ke dalam sistem dan kehilangan daya kritis.
Isu disinformasi dan polarisasi di media sosial juga menjadi perhatian serius. Media sosial yang semula dianggap alat pembebasan justru sering dipakai untuk menyebarkan hoaks, memecah solidaritas, dan menstigma gerakan rakyat sebagai pengacau. Hal ini memperlihatkan bahwa literasi digital dan narasi kolektif yang konsisten adalah kunci agar gerakan tetap dipercaya publik.
Dalam sesi tanya jawab, sejumlah peserta mengangkat persoalan gerakan lingkungan, isu agraria, dan dinamika mahasiswa di kampus. Ada pula yang menyinggung kasus-kasus aktual seperti konflik masyarakat adat dengan perusahaan besar serta lemahnya perlindungan negara terhadap kelompok rentan. Diskusi berjalan interaktif, dengan peserta aktif memberikan tanggapan maupun berbagi pengalaman gerakan di daerah masing-masing.
Dari forum ini, mengemuka satu benang merah: gerakan sosial di Indonesia saat ini memang berada di persimpangan. Di satu sisi, demokrasi memberi ruang partisipasi yang lebih terbuka dibanding era otoritarian. Namun di sisi lain, tantangannya semakin berlapis mulai dari represi negara, kooptasi politik, hingga apatisme publik. Untuk menjawab itu, gerakan sosial dituntut lebih adaptif: menggabungkan kekuatan digital dengan basis organisasi lapangan, mengedepankan solidaritas lintas identitas, serta membangun kepemimpinan kolektif yang demokratis.
Diskusi publik yang digagas HMJ UNIMED ini akhirnya menutup perbincangan dengan satu pesan kuat: tanpa strategi yang matang dan konsolidasi berkelanjutan, gerakan sosial akan sulit mendorong demokrasi yang substantif. Namun, dengan belajar dari pengalaman global dan memperkuat basis lokal, ruang perubahan tetap terbuka. (FS)
0 Komentar